Mana yang Menang kalau Lomba Balap antara Valentino Rossy dan Saya?

Anda pernah dengar nama Valentino Rossy? Saya yakin, pasti tau siapa Valentino Rossy ini. Valentino Rossy adalah seorang pembalap di balap grand prix motor dunia, setelah era Michael Doohan. Ia berhasil membukukan 8 gelar juara dunia, yaitu sekali di kelas 125cc, sekali di kelas 500cc, enam kali di kelas puncak 500cc dan MotoGP.

Nah, seandainya kalau diadakan Lomba Balap antara Valentino Rossy dan Saya, kira-kira siapa yang jadi pemenangnya? Continue reading Mana yang Menang kalau Lomba Balap antara Valentino Rossy dan Saya?

Mulai tidak ya? Mau mulai tapi takut, tidak mulai juga takut!

Cerita dikit ahh.. boleh kan? Ya, ciri khas blog antonhuang.com ini adalah berisikan cerita kehidupan sehari-hari yang menggambarkan bahwa berbisnis itu sebetulnya kita sudah lakukan sehari-hari, sama dengan kegiatan kita sehari-hari. Jadi kenapa masih takut berbisnis? Kalau anda masih mempunyai ciri-ciri bernafas, bergerak dan bertumbuh, silahkan mulai bisnisnya. Ketakutan akan resiko itu wajar-wajar saja, semua orang pada dasarnya takut resiko. Mengulang kembali posting saya tentang Warren buffet, investor nomor satu dunia sekarang ini, Beliau pun punya aturan pokok tentang investasi : Continue reading Mulai tidak ya? Mau mulai tapi takut, tidak mulai juga takut!

Tumbuh dan Berkembang

Ini saya dapatkan dari sebuah email yang dikirimkan oleh seorang sahabat pada saya : Sebuah perumpamaan yang cukup bagus. Hal ini penting sekali! Mau tau? Silahkan baca… 

Kita perlu secara jujur mengakui kalau kita sering terjebak dalam anggapan bahwa; proses belajar itu sudah menjadi masa lalu.
“Aduh, aku sudah tidak muda lagi untuk belajar,” begitu sering kita bilang.
Atau, “Pekerjaanku lagi numpuk nih; gak sempat lagi untuk belajar.”
Dan masih banyak hal serupa itu merasuki alam bawah sadar kita.
Sehingga berhentilah kita dari proses belajar itu.
Tetapi, benarkah wajib belajar itu hanya berlaku untuk anak-anak sekolahan?
Dan benarkah orang-orang dewasa seperti kita tidak perlu lagi untuk menjalani semua itu?

Saya dibesarkan didaerah pertanian. Setiap hari, saya pergi ke kebun untuk membantu Ayah menanam beragam macam sayuran.
Dan setiap hari pula saya menyaksikan tanaman itu tumbuh mulai dari sebutir biji kecil, kemudian menggeliat dari dalamnya tunas berupa daun mungil yang lucu.
Keesokan harinya daun lembut itu semakin membesar, lalu keluarlah batang.
Setelah itu, dia kembali berkembang sehingga lengkaplah dia menjadi sebatang pohon yang kokoh, lagi rindang.

Pernahkah anda merenungkan, mengapa tanaman disebut sebagai ‘tumbuhan’? Continue reading Tumbuh dan Berkembang

Kaldron di Sudut Hati by NengRatna

Derap-derap langkahku makin kacau. Makin gusar aku jadinya, melihat jam yang terasa makin menyempitkan waktu. Karena dari balik celah sempit jendela kamar, dengan sangat teliti, aku mampu melihat secercah pijaran si bola panas. Ia mengintip. Menyapaku,

“selamati pagi neng Ratna! Kamu terlambat bangun yah?” Ah! Tidak! Aku bisa skizofrenia kalau hari ini aku benar-benar terlambat. Pasalnya, aku harus berhadapan dengan guru olah raga—Pak Djiji. Tentunya, dengan segala tindak tanduknya yang ‘mematikan’. Apalagi kilahku kali ini? Baginya, tiada pembenaran bagi kata “toleransi keterlambatan”. Oh.. Kupikir tukang jagal pun bisa terjagal dengan jegalan beliau. Huhuhu.

Nimbuz  tampak elok di pelataran langit megah yang makin cerah. Cahaya matahari menyengat hati siapapun yang harus menembus waktu satu jam demi tujuh belas kilometer lalu lintas Kota Bandung yang super sesak dan dapat dipastikan—macet. Ah, rambutku bisa rontok! Kecuali, kantong ajaib Doraemon dapat aku menangkan di super lelang internasional abad 21. Akan kugunakan untuk melenyapkan kendaraan di jalanan Kota Bandung. Ya, kurasa itu bagus untuk ilusionis macam aku. Ilusi. Lalu realitas hanya menyebutkan satu jalan keluar. Elf! Kendaraan purba antarkota yang super cepat, super padat dan super panjang pula daftar resikonya. Untungnya, satu catatan yang hilang di daftarnya—dimarahin Pak Djiji. Aku pilih yang ini!

Sedikit terasa hampa dari oksigen. Tentu. O2 seratus liter akan segera menampakkan diri sebagai CO2 apabila disanding dengan dua puluh lima orang dalam ruang kecil tua tak megah ini. Satu-satunya hal yang mampu kulakukan? Bertahan. Pekerjaan lain? Tetap bertahan. Ya, jawaban itu berlaku sementara hingga akhirnya memori random memutar arah ke ingatanku bahwa hari ini ada ulangan matematika. Jadi, pekerjaan selanjutnya? Menghapal! Secarik kertas dengan majas yang asing dari sastra mewarnai perjalananku. Cotan, cos, akar, kuadrat. Membuatku menjadi ranting di deras sungai. Hanyut. Dalam.

Seluk beluk neutron-ku hanya memancarkan impuls angka dan setelahnya aku berharap tidak akan benar-benar “muntah angka”. Berpikir keras membuatku lupa dengan sedikit bau ayam dan pose pantat seperempat menempati kursi. Kadang pahaku terasa hangat, dan kurasa itu bekal makan buatan ibuku. Tiga selai roti bakar bersela keju. Sandwich. Aku melirik “sandwich” itu. Aku telah salah besar! Tertegun. Gejolak adrenalinku menyedak leher. Menimbulkan tegangan luar biasa. Bombardir batin. Lima jari yang hina mendarat di sana. Gila! Ini pelecehan! Sontak, telunjukku terhempas tegas di depan dua mata yang terkejut. Laki-laki berpostur besar dan padat ini. Siapa dia? Lancang! Setan-setan demikian bergumul. Berbisik riuh, menyerukan perang pada balada dendam. Menggejolak amarah dan mengundang silat lidah di coloseum—olimpiade elf bangkotan. Dua entah tiga detik aku membeku; menyorot tajam mata busuknya; menggumpal ego pada hati yang terkerat. Aku ingin meremukkan tangan busuknya yang kini dengan gugup telah tinggal landas. Tapi dengan badan maksimal seperti dia? Mana mungkin!

Konflik batin menggejala. Tanpa melepas tatapan yang terjerat iblis, kutarik lagi telunjukku dari wajahnya. Lalu diam. Mencoba tenang. Tapi sekali lagi hantaman batin mengombang-ambingkan kesabaranku. Sampai menuju klimaks. Entah daya mana yang mengalir, tapi mataku menyaksikan. Tanganku mendorong pria gila tadi ke luar pintu elf yang terbuka lebar. Membuatnya terhuyung dan membuat cap pada hidungnya yang belang ke jalan beraspal. Bingo!  Itu memang gerakan setan! Meskipun setan lain bergumul di hatiku lebih mantap; memerintahku melakukan tendangan bebas pada bokongnya yang menungging ke atas. Ah.. Tapi aku tak rela menghisap dingin udara terali besi. Kemudian ia memilih turun dari kendaraan kami. Kecut senyumnya. Menyulut lagi kaldron di sudut hati. Dendam.

Dunia terentang tipis. Ingin kuhamburkan tiap ganjalan di hati ini, supaya ia melebur bersama angin dan membawanya ke palung-palung terdalam Antartika. Elok awan cumulus tak mampu memberi secercah ketenangan. Galau telah meraba hatiku terlalu dalam. Kakiku kaku saat melangkah menuju sekolah. Air hangat yang menggenang di sudut mata membuat jalan ini tampak sepetak. Terlalu kabur untuk melihat gagah pinus menyambutku di gerbang sekolah. Beberapa kali aku sadar telah tersandung. Tapi tak sedikit pun lebih sakit dari yang lebih dalam—hati. Lalu entah mengapa, jalan terasa hampa dari apapun dan aku sampai di bibir bangku. Lekas. Panas hati merangsang perang. Aku melawannya sendirian. Mana mungkin aku marah di tempat ini. Teman-teman di kelas ini bukan gladiatornya. Satu hal yang dapat kulakukan—membiarkan air hangat yang menggenang itu menjatuhkan diri ke pipi. Karena sedak di tenggorokkanku tidak juga turun sejak ia naik.

Tumpah pilu yang mengendon lama di sarangnya. Orang lain bertanya. Aku tak menjawab. Pun dengan satu kata saja. Mereka menyentuh punggungku untuk melunakkanku. Tapi satu senti pun aku tak ingin lebih dekat. Aku seekor herder sekarang. Kini, giliran raga yang tersentuh lebih dalam. Kegiatan olah raga dengan kompetensi senam lantai terasa amat sulit. Entahlah. Berguling seperti hamster bukan ide bagus untukku. Ini latihan? Tidak. Maksudku, tidak berefek apapun untukku. Gagal! Pelajaran yang menyebalkan! Sekarang, mungkin sepi akan lebih baik. Satu hal yang ingin kulakukan—telentang menghadap langit; menyerah pada angin yang menyibak rambut kian seru. Memejamkan mata. Lalu gelap. Continue reading Kaldron di Sudut Hati by NengRatna

Pembeli Istimewa

 Pada suatu hari, ketika Jepang belum semakmur sekarang, datanglah seorang peminta-minta kesebuah toko kue yang mewah dan bergengsi untuk membeli manju (kue Jepang yang terbuat dari kacang hijau dan berisi selai). Bukan main terkejutnya si pelayan melihat pelanggan yang begitu sederhana di tokonya yang mewah dan bergengsi itu. Karena itu dengan terburu-buru ia membungkus manju itu. Tapi belum lagi ia sempat menyerahkan manju itu kepada si pengemis, muncullah si pemilik toko berseru, “Tunggu, biarkan saya yang menyerahkannya” . Seraya berkata begitu, diserahkannya bungkusan itu kepada si pengemis.

Si pengemis memberikan pembayarannya. Sembari menerima pembayaran dari tangan si pengemis, ia membungkuk hormat dan berkata, “Terima kasih atas kunjungan Anda”.

Setelah si pengemis berlalu, si pelayan bertanya pada si pemilik toko,
“Mengapa harus Anda sendiri yang menyerahkan kue itu? Anda sendiri belum pernah melakukan hal itu pada pelanggan mana pun. Selama ini saya dan kasirlah yang melayani pembeli”. Continue reading Pembeli Istimewa

Hasrat, Keberanian dan Komitmen

Kisah ini diambil dari buku Chicken Soups for The Souls :

Namanya Hani. Hani Irmawati. Ia adalah gadis pemalu, berusia 17 tahun. Tinggal di rumah berkamar dua bersama dua saudara dan orangtuanya. Ayahnya adalah penjaga gedung dan ibunya pembantu rumah tangga. Pendapatan tahunan mereka, tidak setara dengan biaya kuliah sebulan di Amerika.

Pada suatu hari, dengan baju lusuh, ia berdiri sendirian di tempat parkir sebuah sekolah internasional. Sekolah itu mahal, dan tidak menerima murid Indonesia. Ia menghampiri seorang guru yang mengajar bahasa Inggris di sana. Sebuah tindakan yang membutuhkan keberanian besar untuk ukuran gadis Indonesia.

“Aku ingin kuliah di Amerika,” tuturnya, terdengar hampir tak masuk akal. Membuat sang guru tercengang, ingin menangis mendengar impian gadis belia yang bagai pungguk merindukan bulan. Continue reading Hasrat, Keberanian dan Komitmen

Seorang Wanita yang berpakaian sehelai kain tipis…

Malam itu, hujan turun dengan derasnya.. Saya berkendaraan pulang menuju ke rumah. Angin kencang pun bertiup mengiringi derasnya hujan. Menerpa bagian depan kaca mobil, menghalangi pemandangan jauh ke depan. Wiper mobil yang bergerak ke kiri dan ke kanan berusaha menghalau air hujan dan angin kencang itu agar dapat memberikan pemandangan yang lebih jelas. Dinginnya cuaca luar menambah dingin ac di dalam mobil. Badan saya pun sedikit menggigil malam itu. Namun keinginan untuk sampai di rumah membuat saya memacu kendaraan saya lebih cepat menerobos gelapnya malam dan hembusan angin kencang. Namun dinginnya malam itu membuat tangan saya sedikit gemetar memegang kemudi mobil. Pandangan ke depan dari dalam mobil mulai berkabut.. Namun saya merasakan dingin yang lain.. Ini bukan dinginnya cuaca. Sesuatu di depan saya membuat saya terdiam. Bulu-bulu di rambut saya berdiri… Sesuatu yang membayang di depan membuat saya terpana… Ciiittt……bunyi rem mobil menghentak kesadaran saya.. Saya memandang ke depan.. Seorang wanita yang berpakaian sehelai kain tipis.. Continue reading Seorang Wanita yang berpakaian sehelai kain tipis…

Bikin Hidup Lebih Hidup