Derap-derap langkahku makin kacau. Makin gusar aku jadinya, melihat jam yang terasa makin menyempitkan waktu. Karena dari balik celah sempit jendela kamar, dengan sangat teliti, aku mampu melihat secercah pijaran si bola panas. Ia mengintip. Menyapaku,
“selamati pagi neng Ratna! Kamu terlambat bangun yah?” Ah! Tidak! Aku bisa skizofrenia kalau hari ini aku benar-benar terlambat. Pasalnya, aku harus berhadapan dengan guru olah raga—Pak Djiji. Tentunya, dengan segala tindak tanduknya yang ‘mematikan’. Apalagi kilahku kali ini? Baginya, tiada pembenaran bagi kata “toleransi keterlambatan”. Oh.. Kupikir tukang jagal pun bisa terjagal dengan jegalan beliau. Huhuhu.
Nimbuz tampak elok di pelataran langit megah yang makin cerah. Cahaya matahari menyengat hati siapapun yang harus menembus waktu satu jam demi tujuh belas kilometer lalu lintas Kota Bandung yang super sesak dan dapat dipastikan—macet. Ah, rambutku bisa rontok! Kecuali, kantong ajaib Doraemon dapat aku menangkan di super lelang internasional abad 21. Akan kugunakan untuk melenyapkan kendaraan di jalanan Kota Bandung. Ya, kurasa itu bagus untuk ilusionis macam aku. Ilusi. Lalu realitas hanya menyebutkan satu jalan keluar. Elf! Kendaraan purba antarkota yang super cepat, super padat dan super panjang pula daftar resikonya. Untungnya, satu catatan yang hilang di daftarnya—dimarahin Pak Djiji. Aku pilih yang ini!
Sedikit terasa hampa dari oksigen. Tentu. O2 seratus liter akan segera menampakkan diri sebagai CO2 apabila disanding dengan dua puluh lima orang dalam ruang kecil tua tak megah ini. Satu-satunya hal yang mampu kulakukan? Bertahan. Pekerjaan lain? Tetap bertahan. Ya, jawaban itu berlaku sementara hingga akhirnya memori random memutar arah ke ingatanku bahwa hari ini ada ulangan matematika. Jadi, pekerjaan selanjutnya? Menghapal! Secarik kertas dengan majas yang asing dari sastra mewarnai perjalananku. Cotan, cos, akar, kuadrat. Membuatku menjadi ranting di deras sungai. Hanyut. Dalam.
Seluk beluk neutron-ku hanya memancarkan impuls angka dan setelahnya aku berharap tidak akan benar-benar “muntah angka”. Berpikir keras membuatku lupa dengan sedikit bau ayam dan pose pantat seperempat menempati kursi. Kadang pahaku terasa hangat, dan kurasa itu bekal makan buatan ibuku. Tiga selai roti bakar bersela keju. Sandwich. Aku melirik “sandwich” itu. Aku telah salah besar! Tertegun. Gejolak adrenalinku menyedak leher. Menimbulkan tegangan luar biasa. Bombardir batin. Lima jari yang hina mendarat di sana. Gila! Ini pelecehan! Sontak, telunjukku terhempas tegas di depan dua mata yang terkejut. Laki-laki berpostur besar dan padat ini. Siapa dia? Lancang! Setan-setan demikian bergumul. Berbisik riuh, menyerukan perang pada balada dendam. Menggejolak amarah dan mengundang silat lidah di coloseum—olimpiade elf bangkotan. Dua entah tiga detik aku membeku; menyorot tajam mata busuknya; menggumpal ego pada hati yang terkerat. Aku ingin meremukkan tangan busuknya yang kini dengan gugup telah tinggal landas. Tapi dengan badan maksimal seperti dia? Mana mungkin!
Konflik batin menggejala. Tanpa melepas tatapan yang terjerat iblis, kutarik lagi telunjukku dari wajahnya. Lalu diam. Mencoba tenang. Tapi sekali lagi hantaman batin mengombang-ambingkan kesabaranku. Sampai menuju klimaks. Entah daya mana yang mengalir, tapi mataku menyaksikan. Tanganku mendorong pria gila tadi ke luar pintu elf yang terbuka lebar. Membuatnya terhuyung dan membuat cap pada hidungnya yang belang ke jalan beraspal. Bingo! Itu memang gerakan setan! Meskipun setan lain bergumul di hatiku lebih mantap; memerintahku melakukan tendangan bebas pada bokongnya yang menungging ke atas. Ah.. Tapi aku tak rela menghisap dingin udara terali besi. Kemudian ia memilih turun dari kendaraan kami. Kecut senyumnya. Menyulut lagi kaldron di sudut hati. Dendam.
Dunia terentang tipis. Ingin kuhamburkan tiap ganjalan di hati ini, supaya ia melebur bersama angin dan membawanya ke palung-palung terdalam Antartika. Elok awan cumulus tak mampu memberi secercah ketenangan. Galau telah meraba hatiku terlalu dalam. Kakiku kaku saat melangkah menuju sekolah. Air hangat yang menggenang di sudut mata membuat jalan ini tampak sepetak. Terlalu kabur untuk melihat gagah pinus menyambutku di gerbang sekolah. Beberapa kali aku sadar telah tersandung. Tapi tak sedikit pun lebih sakit dari yang lebih dalam—hati. Lalu entah mengapa, jalan terasa hampa dari apapun dan aku sampai di bibir bangku. Lekas. Panas hati merangsang perang. Aku melawannya sendirian. Mana mungkin aku marah di tempat ini. Teman-teman di kelas ini bukan gladiatornya. Satu hal yang dapat kulakukan—membiarkan air hangat yang menggenang itu menjatuhkan diri ke pipi. Karena sedak di tenggorokkanku tidak juga turun sejak ia naik.
Tumpah pilu yang mengendon lama di sarangnya. Orang lain bertanya. Aku tak menjawab. Pun dengan satu kata saja. Mereka menyentuh punggungku untuk melunakkanku. Tapi satu senti pun aku tak ingin lebih dekat. Aku seekor herder sekarang. Kini, giliran raga yang tersentuh lebih dalam. Kegiatan olah raga dengan kompetensi senam lantai terasa amat sulit. Entahlah. Berguling seperti hamster bukan ide bagus untukku. Ini latihan? Tidak. Maksudku, tidak berefek apapun untukku. Gagal! Pelajaran yang menyebalkan! Sekarang, mungkin sepi akan lebih baik. Satu hal yang ingin kulakukan—telentang menghadap langit; menyerah pada angin yang menyibak rambut kian seru. Memejamkan mata. Lalu gelap. Continue reading Kaldron di Sudut Hati by NengRatna
senam lantai back roll (14), senam lantai roll belakang (12)